Cerita Rakyat Jakarta: Ariah Si Manis Ancol
BERITA UNIK

Cerita Rakyat Jakarta: Ariah Si Manis Jembatan Ancol

Cerita Rakyat Jakarta: Ariah Si Manis Jembatan Ancol

Situs Judi Online TerpercayaCerita Rakyat Jakarta: Ariah Si Manis Ancol.

Jakarta yang berulang tahun 22 Juni memiliki banyak cerita rakyat. Salah satunya adalah Aria Si Manis Ancol yang melegenda di tengah masyarakat dengan nama lain Mariam, Mariah, ataupun Mariam.

Berikut kisah Aria, perempuan muda yang membela kehormatan dirinya dan berkorban demi ibu dan kakaknya, meski harus mengorbankan nyawanya sendiri, dikutip dari laman Kemendikbud dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Pada suatu masa sekitar 1860, Jakarta masih berupa sawah, kebon, rawa, dan hutan, hanya sedikit wilayah yang menjadi pusat pemukiman penduduk. Di sebuah desa yang dikenal sebagai Kampung Sawah, Kramat Sentiong, hiduplah Mak Emper dengan dua anak perempuannya.

Ketiganya hidup miskin. Mak Emper bersama Ariah juga kakaknya tinggal di sebuah gubuk milik seorang juragan penggilingan padi. Ketiganya menumpang hidup di sana sekaligus Mak Emper dan kakak Ariah bekerja menumbuk pagi untuk bisnis si juragan.

Sementara itu, Ariah sebagai anak bungsu bertugas sehari-hari mencari kayu bakar, telur ayam hutan, dan sayuran untuk makan mereka bertiga. Semuanya punya andil dan bekerja, karena ayah Ariah telah meninggal sejak anak-anak Mak Emper masih kecil.

Seiring waktu berjalan, Ariah tumbuh menjadi gadis yang manis. Pesonanya membuat banyak laki-laki terpikat, termasuk si juragan yang menjadi majikan sekaligus pemilik gubug tempat Ariah dan keluarganya tinggal.

Si juragan pun menyatakan kepada Mak Emper keinginannya meminang Ariah untuk menjadi istri muda. Padahal, si juragan sudah memiliki istri.

Mak Emper galau. Ia bingung atas tawaran si juragan. Satu sisi ia tak mau anaknya menjadi istri muda. Sementara Aria masih memiliki kakak perempuan yang belum menikah, pamali ketika adik melangkahi kakaknya menikah lebih dulu.

Namun untuk menolak tawaran si juragan juga Mak Emper takut. Mereka berutang budi dengan juragan yang menjadi majikan sekaligus pahlawan karena membolehkan Mak Emper dan dua anaknya menumpang hidup di gubug miliknya.

Ariah pun menolak menikah dengan si juragan. Ia tak cinta pada orang tua itu. Lagipula, ia menghormati perasaan kakaknya yang tak jua mendapatkan laki-laki karena sibuk membantu kehidupan keluarga.

Ariah kagak bakalan kawin sama saudagar yang punya rumah ini. Mpok ‘kan belum kawin. Lagian apa kata ibu yang rumahnya kita tumpangin ?” protes Ariah.

Ariah, itu yang bikin Mak bingung. Kite numpang di sini. Tuan rumah mauin Arie. Dia yang ajak kita tinggal di sini. Mau saja deh, Ri. Kalau kita diusir, mau tinggal dimana? Babe kamu ‘kan sudah meninggal,” bujuk Mak Emper.

Ariah hanya bisa menangis. Namun keputusannya sudah bulat untuk menolak pinangan si juragan. Ia akan cari cara untuk menolak lamaran tersebut. Tapi ia justru mendapat restu menikah dari kakaknya sendiri yang membuat air matanya kembali berderai.

Ariah, Mpok ikhlas, Mpok redo, ude dong jangan menangis. Kita mau bilang apa lagi, Arie, kita miskin. Orang miskin kagak punya hak ape-ape Arie, melengken nurutin kemauan orang“. kata kakaknya Ariah.

Pok, maapin aye, biar bagaimana Ariah sudah membuat keputusan. Ape bole lantaran kite miskin kite jual semua hak kite termasuk perasaan? Biar kite miskin, Pok, kite kudu jaga perasaan,” bela Ariah. “Jangan korbanin perasaan Mpok, jangan Pok. Biar Mpok redo, Ariah yang kagak redo.”

Sembari menangis di kamar, Ariah didatangi Mak Emper. Ibunya itu membelai rambut anak bungsunya tersebut dengan lembut. Ariah pun meminta Mak Emper membelainya lebih lama.

“Mak, duduk yang lama di sini Mak. Kayaknya besok Ariah kagak bakalan ngerasain lagi tangan Mak ngerabe rambut aye,” kata Ariah, lalu tertidur.

ceritanye lanjut bang, mpok, ke sebelah..

Esok paginya, Ariah bersiap berkelana menjalankan tugasnya. Sebelum mencari makanan dan kayu bakar, ia salim dan menatap Mak Emper dan kakaknya lebih lama dari biasanya. Ia kemudian pergi tanpa banyak bicara.

Perjalanan Ariah cukup panjang. Ia melangkahkan kaki menuju Ancol di utara. Ketika tiba di kawasan Bendungan Melayu, Ariah menyantap bekalnya. Kemudian ia melangkahkan kaki kembali menuju tepi pantai di Ancol.

Ariah tiba di tepi laut utara Jakarta kala senja. Deburan ombak dan semilir angin membuatnya termenung meratapi cobaan yang ia terima: memilih pinangan juragan yang tak ia cintai atau mengorbankan keluarganya.

Ketika bulan telah menggantikan sang surya, Ariah tetap tak ingin pulang, tapi ia juga tak tau mau ke mana. Hingga kemudian, lamunannya disadarkan oleh godaan dari dua preman.

Dua preman itu menggoda Ariah dan memaksanya ikut dengan mereka. Ariah memberontak. Ia tak kenal dua pria menakutkan dan tak tau sopan santun itu.

Ariah terus berontak hingga membuat dua preman yang ternyata sedang mencari gadis untuk diperkosa oleh majikan mereka yang bernama Tambahsia itu hilang kesabaran.

Dua sabetan golok melayang menghilangkan jiwa Ariah untuk selamanya. Preman tanpa belas kasihan itu kemudian membuang jenazah Ariah ke laut. Perlahan, mayat Ariah hilang di balik deburan ombak.

Malam terus larut, tapi Mak Emper dan anak sulungnya tak bisa tidur. Mereka menantikan Ariah pulang. Mereka tak tau kenapa gadis periang itu tak kunjung tiba meski sudah gelap, tak seperti biasanya.

Mereka tak tahu bahwa Ariah telah pergi untuk selamanya dan tak akan pernah kembali.

Malam berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Ariah tak juga kembali. Mak Emper terus menjalani hari dengan sedih si bungsu tak jua pulang.

Apalagi, kakak Ariah kini telah dilamar orang dan Mak Emper mesti menyiapkan hidangan untuk menyambut besan sesuai adat sementara mereka tak punya apapun untuk dihidang.

Mak Emper pun tertidur hingga bermimpi karena lelah bersedih. Dalam mimpi, ia bertemu dengan Ariah. Anak bungsunya telah pulang! Ariah berpesan supaya Mak Emper tak lagi sedih soal dirinya, ia mengaku kini sudah bahagia.

Mak jangan pikirin Ariah. Idup aye senang deh Mak. Tapi Ariah ingat Mak, ingat Mpok. Makanya Ariah datang, apalagi Mak lagi susah mikirin Mpok yang mau duduk nikah. Ariah bakal bantu. Ariah senang Mak, syukur deh Mpok nikah. Ude deh Mak, Arie pulang,” kata Ariah yang kembali pergi tanpa membiarkan ibunya berucap apapun.

Ketika dibangunkan oleh kakak Ariah, Mak Emper kaget bukan kepalang. Mereka berdua lebih kaget lagi ketika menemukan t di depan rumahnya terdapat berpikul-pikul ikan laut serta sayur-mayur.

Di zaman sekarang, orang mengatakan Ariah menjadi setan Ancol. Ariah tidak menjadi setan. Ia adalah pejuang perempuan yang mempertahankan martabat dan harga dirinya. Ia gugur sebagai pejuang yang mempertahankan kehormatan dan harga diri perempuan,” tulis catatan dari Pemprov DKI di laman resminya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *